TEORI-TEORI BELAJAR DALAM PROSES PENDIDIKAN
TEORI-TEORI BELAJAR DALAM PROSES PENDIDIKAN
Oleh : M Eko Nurul Ashidiq, Ah. Sidiq
Siti Makrupah, Faiqoh,
Abstrak
Belajar dan pembelajaran adalah dua hal yang
saling berhubungan erat dan tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan edukatif.
Belajar dan pembelajaran dikatakan sebuah bentuk edukasi yang menjadikan adanya
suatu interaksi antara guru dengan siswa. Kegiatan belajar mengajar yang
dilakukan dalam hal ini diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah
dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Guru secara sadar merencanakan
kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya
untuk kepentingan dalam pengajaran. Keberhasilan proses pembelajaran tidak
terlepas dari ketepatan tenaga pendidik dalam memilih dan menerapkan teori dan
model belajar di dalam kelas. Peserta didik akan belajar dengan baik jika guru
mampu merancang pembelajaran dengan baik.
Ada empat kategori utama atau kerangka filosofis mengenai teori-teori belajar, yaitu: teori belajar behaviorisme, teori belajar kognitivisme, teori belajar konstruktivisme dan teori belajar humanistik. Teori belajar behaviorisme hanya berfokus pada aspek objektif diamati pembelajaran. Teori kognitif melihat melampaui perilaku untuk menjelaskan pembelajaran berbasis otak. Teori konstruktivisme berpendapat bahwa belajar sebagai sebuah proses di mana pelajar aktif membangun atau membangun ide-ide baru atau konsep. Dan teori humanistik ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya
Kata Kunci : teori belajar, pendidikan
A.
Pendahuluan
Belajar dan
pembelajaran adalah dua hal yang saling berhubungan erat dan tidak dapat
dipisahkan dalam kegiatan edukatif. Belajar dan pembelajaran dikatakan sebuah
bentuk edukasi yang menjadikan adanya suatu interaksi antara guru dengan siswa.
Kegiatan belajar mengajar yang dilakukan dalam hal ini diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Guru secara
sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan
segala sesuatunya untuk kepentingan dalam pengajaran.[1]
Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari
ketepatan tenaga pendidik dalam memilih dan menerapkan teori dan model belajar
di dalam kelas. Peserta didik akan belajar dengan baik jika guru mampu
merancang pembelajaran dengan baik.
Menurut Ukti Lutvaidah (2015) menjelaskan bahwa
dalam setiap mengikuti proses pembelajaran sudah pasti setiap peserta didik
mengharapkan hasil belajar yang baik, sebab hasil belajar yang baik dapat
membantu mereka dalam mencapai tujuannya.[2]
Dalam kegiatan belajar dan mengajar, peserta didik
adalah subjek dan objek dari kegiatan pendidikan. Oleh karena itu, makna dari
proses pengajaran adalah kegiatan belajar peserta didik dalam mencapai suatu
tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran akan dicapau apabila peserta didik
berusaha secara aktif untuk mencapainya. Keaktifan anak didik tidak hanya
dituntut dari segi fisik, tetapi juga dari segi kejiwaan. Apabila hanya dari
segi fisik saja yang aktif dan mentalnya tidak aktif, maka tujuan dari
pembelajaran belum tercapai. Hal ini sama saja dengan peserta didik tidak
belajar, karena peserta didik tidak merasakan perubahan dalam dirinya. Belajar
pada hakikatnya adalah suatu “perubahan” yang terjadi dalam diri seseorang
setelah melakukan aktivitas belajar.[3]
B. Teori-Teori
Belajar Dalam Proses Pendidikan
Teori
adalah suatu kumpulan konsep, definisi, proposisi, dan variabel yang berkaitan
satu sama lain secara sistematis dan telah digeneralisasi sehingga dapat
menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena (fakta-fakta) tertentu.[4]
Menurut
Siswoyo (dalam Mardalis, 2003:42), bahwa “Teori adalah sebagai seperangkat
konsep dan definisi yang saling berhubungan yang mencerminkan suatu pandangan
sistematik mengenai fenomena dengan menerangkan hubungan antar variabel, dengan
tujuan untuk menerangkan dan meramalkan fenomena”[5]
Sedangkan Menurut Hoy & Miskel (dalam
Sugiyono, 2010:55), “Teori adalah seperangkat konsep, asumsi, dan generalisasi
yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam
berbagai organisasi”.[6]
Berdasarkan pendapat ahli di atas, jadi
penulis menyimpulkan bahwa teori adalah seperangkat asas tentang
kejadian-kejadian yang didalamnnya memuat ide, konsep, prosedur dan prinsip
yang dapat dipelajari, dianalisis dan diuji kebenarannya.
Teori belajar menjadi dasar upaya pendidikan banyak
mempengaruhi kurikulum, metode belajar mengajar, administrasi pendidikan,
prasarana dan sarana pendidikan, serta tuntutan kompetensi guru dan kepala
sekolah. Oleh karena itu, teori belajar pada dasarnya merupakan titik sentral
dan semua permasalahan pendidikan. Dan upaya melihat implikasi teori-teori
belajar tersebut terhadap upaya pendidikan serta proses belajar motorik akan
sangat bermanfaat.
1. Teori
Belajar Behaviorisme
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang
mempelajari tingkah laku manusia.Menurut Desmita (2009:44) teori belajar
behavioristik merupakan teori belajar memahami tingkah laku manusia yang
menggunakan pendekatan objektif, mekanistik, dan materialistik, sehingga
perubahan tingkah laku pada diri seseorang dapat dilakukan melalui upaya
pengkondisian. Dengan kata lain, mempelajari tingkah laku seseorang seharusnya
dilakukan melalui pengujian dan pengamatan atas tingkah laku yang terlihat,
bukan dengan mengamati kegiatan bagian-bagian dalam tubuh. Teori ini
mengutamakan pengamatan, sebab pengamatan merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.[7]
Teori belajar behavioristik merupakan teori yang
didasarkan pada perubahan prilaku yang bisa diamati. Behaviorme memfokuskan
diri pada sebuah pola perilaku baru yang diulangi samapai prilaku tersebut
menjadi otomatis atau membudaya. Teori behaviorisme mengkonsentrasikan pada
kajian tentang prilaku nyata yang bisa diteliti dan diukur. Teori ini memandang
pikiran sebagai sebuah kotak hitam, dalam artian bahwa respon terhadap stimulus
bisa diamati secara kuantitatif, apa yang ada dalam pikiran menjadi diabaikan
karena proses pemikiran tidak bisa diamati secara jelas perubahan prilakunya.
Tokoh-tokoh kunci dalam perkembangan teori behavioris adalah Ivan Pavlov,
Watson, Throndike, dan B.F Skinner.
Teori behavioristik menekankan pada kajian ilmiah
mengenai berbagai respon perilaku yang dapat diamati dan penentu lingkungannya.
Dengan kata lain, perilaku memusatkan pada interaksi dengan lingkungannya yang
dapat dilihat dan diukur. Prinsip-prinsip perilaku diterapkan secara luas untuk
membantu orang-orang mengubah perilakunya ke arah yang lebih baik.[8] Teori
belajar behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku
manusia sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon.Teori belajar
behavioristik berpengaruh terhadap pengembangan teori pendidikan dan
pembelajaran yang dikenal dengan aliran behavioristik.Aliran ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori
tentang perubahan tingkah laku ebagai hasil dari pengalaman. Teori ini
berkembang menjadi aliranpsikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan dan praktik pendidikan serta pembelajaran yang dikenal sebagai
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus-responsnya mendudukkan siswa yang belajarsebagai individu yang pasif.
Respons atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau
pembiasaan semata. Munculnyaperilakuakan semakin kuat bila diberikan penguatan
dan akan menghilang bila dikenai hukuman.[9]
Teori belajar behavioristik adalah sebuah aliran dalam
teori belajar yang sangat menekankan pada perlunya tingkah laku (behavior) yang
dapat diamati. Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah
pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap panca indra dengan
kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus dan respons. Oleh
karena ituteori ini juga dinamakan teori stimulus-respons. Belajar adalah upaya
untuk membentuk hubungan stimulus dan respon sebanyakbanyaknya.Behaviorisme
merupakan aliran psikologi yang memandang individu lebih kepada sisi fenomena
jasmaniah dan mengabaikan aspek-aspek mental seperti kecerdasan, bakat, minat,
dan perasaan individu dalam kegiatan belajar. Peristiwa belajar semata-mata
dilakukan dengan melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi
kebiasaan yang dikuasai individu. Para ahli behaviorisme berpendapat bahwa
belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Belajar
merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus (S) dengan respons (R).
Menurut teori ini, dalam belajar yang penting adalah adanya input berupa
stimulusdan output yang berupa respon.[10]
2. Teori Belajar Humanistik
Secara luas definisi teori belajar humanisitk ialah
sebagai aktivitas jasmani dan rohani guna memaksimalkan proses perkembangan.
Sedangkan secara sempit pembelajaran diartikan sebagai upaya menguasai khazanah
ilmu pengetahuan sebagai rangkaian pembentukan kepribadian secara menyeluruh.
Pertumbuhan yang bersifat jasmaniyah tidak memberikan perkembangan tingkah
laku. Perubahan atau perkembangan hanya disebabkan oleh proses pembelajaran
seperti perubahan habit atau kebiasaan, berbagai kemampuan dalam hal
pengetahuan, sikap maupun keterampilan.[11]
Dalam pandangan humanism, manusia memegang kendali
terhadap kehidupan dan perilaku mereka, serta berhak untuk mengembangkan sikap
dan kepribadian mereka. Masih dalam pandangan humanism, belajar bertujuan untuk
menjadikan manusia selayaknya manusia, keberhasilan belajar ditandai bila
peserta didik mengenali dirinya dan lingkungan sekitarnya dengan baik. Peserta
didik dihadapkan pada target untuk mencapai tingkat aktualisasi diri semaksimal
mungkin. Teori humanistic berupaya mengerti tingkah laku belajar menurut
pandangan peserta didik dan bukan dari pandangan pengamat.[12]
Penerapan teori humanistic pada kegiatan belajar
hendaknya pendidik menuntun peserta didik berpikir induktif, mengutamakan
praktik serta menekankan pentingnya partisipasi peserta didik dalam
pembelajaran. Hal tersebut dapat diaplikasikan dengan diskusi sehingga peserta
didik mampu mengungkapkan pemikiran mereka di hadapan audience. Pendidik
mempersilakan peserta didik menanyakan materi pelajaran yang kurang dimengerti.
Proses belajar menurut pandangan humanistic bersifat pengembangan kepribadian,
kerohanian, perkembangan tingkah laku serta mampu memahami fenomena di
masyarakat. Tanda kesuksesan penerapan tersebut yaitu peserta didik merasa
nyaman dan bersemangat dalam proses pembelajaran serta adanya perubahan positif
cara berpikir, tingkah laku serta pengendalian diri.[13]
Teori pendidikan humanistik yang muncul pada tahun
1970-an bertolak dari tiga teori filsafat, yaitu: pragmatisme, progresivisme
dan eksistensisalisme.[14]
Ide utama pragmatisme dalam pendidikan adalah memelihara keberlangsungan
pengetahuan dengan aktivitas yang dengan sengaja mengubah lingkungan.[15]
Pendidikan (sekolah) merupakan kehidupan dan lingkungan belajar yang demokratis
yang menjadikan semua orang berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan
sesuai realitas masyarakat.
Pragmatisme memandang pendidikan (sekolah)
seharusnya merupakan kehidupan dan lingkungan belajar yang demokratis yang
menjadikan semua orang berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan sesuai
realitas masyarakat. Pengaruh pemikiran ini sangat dirasakan dalam, bahkan
menjadi faktor utama munculnya, teori/pemikiran humanisme dan progresivisme.
Inti pragmatisme dalam pendidikan adalah bahwa: (1) Peserta didik (siswa)
adalah subjek yang memiliki pengalaman. (2) Guru bukan orang yang tahu
kebutuhan siswa untuk masa depannya. (3) Materi/kurikulum harus sesuai kebutuhan
siswa yang menekankan proses daripada materi. (4) Metode pembelajaran harus
memberikan kebebasan kepada siswa untuk mencari pengalaman belajar yang
berguna. (5) Kebijakan pendidikan mengikuti arus perubahan sosial.
Adapun ide progresivisme yang sangat dipengaruhi
oleh pragmatisme itu sangat menekankan adanya kebebasan aktualisasi diri bagi
peserta didik supaya kreatif. Faham ini menekankan terpenuhi kebutuhan dan
kepentingan anak. Anak harus aktif membangun pengalaman kehidupan. Belajar
tidak hanya dari buku dan guru, tetapi juga dari pengalaman kehidupan. Dasar
orientasi teori progresivisme adalah perhatiannya terhadap anak sebagai peserta
didik dalam Pendidikan.
Sebagai sebuah teori pendidikan, progresivisme
menekankan kebebasan aktualisasi diri supaya kreatif sehingga menuntut
lingkungan belajar yang demokratis dalam menentukan kebijakannya. Kalangan
progresivis berjuang untuk mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna bagi
kelompok sosial. Progresivisme menekankan terpenuhi kebutuhan dan kepentingan
anak. Anak harus aktif membangun pengalaman kehidupan. Belajar tidak hanya dari
buku dan guru, tetapi juga dari pengalaman kehidupan.
Pengaruh terakhir munculnya pendidikan humanistik
adalah eksistensialisme yang pilar utamanya adalah invidualisme. Teori eksistensialisme
lebih menekankan keunikan anak secara individual daripada progresivisme yang
cenderung memahami anak dalam unit sosial. Anak sebagai individu yang unik.
Pandangan tentang keunikan individu ini mengantarkan kalangan humanis untuk
menekankan pendidikan sebagai upaya pencarian makna personal dalam eksistensi
manusia. Pendidikan berfungsi untuk membantu kedirian individu supaya menjadi
manusia bebas dan bertanggung jawab dalam memilih. Kebebasan manusia merupakan
tekanan para eksistensialis.[16] Dengan
kebebasan tersebut peserta didik akan dapat mengaktualisasikan potensinya
secara maksimal.
Pendapat-pendapat para pakar psikologi tentang
pendidikan humanistik:
a)
Abraham Maslow
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran
psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan
menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan
hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut
Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang
paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi
(aktualisasi diri). Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow
menyatakan bahwa manusia memiliki 5 macam kebutuhan yaitu physiological needs
(kebutuhan fisiologis), safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman),
love and belonging needs (kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki),
esteem needs (kebutuhan akan harga diri), dan self-actualization (kebutuhan
akan aktualisasi diri). Sehingga pendidikan humanistik haruslah pendidikan yang
mencakup 5 kebutuhan tersebut.
b)
Carl Ransom Rogers
Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang
menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien
dan terapis) dalam membantu individu mengatasi masalahmasalah kehidupannya.
Carl Rogers menyakini bahwa berbagai masukan yang ada pada diri seseorang
tentang dunianya sesuai dengan pengalaman pribadinya. Masukan-masukan ini
mengarahkannya secara mutlak ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dirinya.
Rogers menegaskan, dalam pengembangan diri seorang pribadi akan berusaha keras
demi aktualisasi diri (self actualisation), pemeliharaan diri (self maintenance),
dan peningkatan diri (self inhancement). Dari catatan di atas terlihat bahwa
para psikolog humanis melihat pribadi manusia sebagai wujud yang sepenuhnya
terpusat kepada dirinya sendiri. Setiap orang adalah sosok yang tunggal dan
bukan dalam bentuk individu-individu dari satu spesis yang sama. Karena itu,
setiap individu terkonsentrasi sepenuhnya kepada dirinya sendiri, bahkan dalam
hal yang menyangkut tatanan nilai yang menguasai perilakunya. Perspektif para
humanis terlihat juga menempatkan sebab pelaku (‘illaf fai’iliah) dan sebab
tujuan (‘illah ghayah) di dalam diri manusia sehingga individu bisa
mengaktualisasikan segenap potensi dirinya tidak hanya dalam bentuk yang
terasing dari sebab-sebab di luar, tetapi bahkan juga dalam posisi yang mengemban
tujuan dari perwujudan dirinya, dan individu ini sepenuhnya bertumpu pada
dirinya sendiri dalam proses aktualisasi diri, pemeliharaan diri, dan
peningkatan diri.
3. Teori Belajar kognitivisme
Definisi “Cognitive” berasal dari kata “Cognition”
yang mempunyai persamaan dengan “knowing” yang berarti mengetahui. Dalam arti
yang luas kognition/kognisi ialah perolahan penataan, penggunaan pengetahuan.[17]
Teori belajar kognitivisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil
belajar itu sendiri. Baharudin menerangkan teori ini lebih menaruh perhatian
dari pada peristiwa-peristiwa Internal. Belajar tidak sekedar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon sebagaimana dalam teori behaviorisme, lebih
dari itu belajar dengan teori kognitivisme melibatkan proses berpikir yang
sangat kompleks.[18]
Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar
behavioristik, teori belajar kognitif leih mementingkan proses belajar dari
pada hasil belajarnya.[19]
Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik
yang mempelajari prses belajar hanya sebagai hubungan stimulusrespon, model
belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut
sebagai model perceptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku
sesorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang
berhubungan dengan tujuan belajarnya. Perubahan Belajar merupakan persepsi dan
pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebaigai tingkah laku yang Nampak.[20]
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian
bahawa dari sistuasi salaing berhubungan dengan seluruh kontek situasi
tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi /materi pelajaran menjadi
komponen-komponen yang kecilkecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah,
akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu
proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan infirnasi, emosi,
dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan
proses berfikir yang ssangat komplek. Prose belajar terjadi antara lain
mencakup pengaturan stimulus yang diitrerima dan menyesuaikannya dengan
struktur kognitif yang sudah dimiliki dan sudah terbentuk dalam diri sesorang
berdasarkan pemahman dan pengalaman-pengalaman sebelumnnya. Dalam praktek
pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti:
“tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh j.piaget, advance organizer
oleh ausubel, pemahaman konsep oleh bruner, hirarki belajar oleh gagne,
webteacing oleh norman dan sebagainya.[21]
Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar
merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Pada dasarnya
belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi
dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan
lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan,
pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan
berbekas. Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam
belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme,
belajar merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi
terusmenerus sepanjang hayatnya. Kognisi adalah suatu perabot dalam benak kita
yang merupakan “pusat” penggerak berbagai kegiatan kita: mengenali lingkungan,
melihat berbagai masalah, menganalisis berbagai masalah, mencari informasi
baru, menarik simpulan dan sebagainya.
Di samping itu, teori ini pun mengenal konsep bahwa
belajar ialah hasil interaksi yang terus-menerus antara individu dan lingkungan
melalui proses asimilasi dan akomodasi. Teori kognitivisme mengungkapkan bahwa
belajar yang dilakukan individu adalah hasil interaksi mentalnya dengan
lingkungan sekitar sehingga menghasilkan perubahan pengetahuan atau tingkah
laku. Dalam pembelajaran pada teori ini dianjurkan untuk menggunakan media yang
konkret karena anak-anak belum dapat berfikir secara abstrak. Dalam teori ini
ada dua bidang kajian yang lebih mementingkan proses belajar daripada hasil
belajar, yaitu:[22]
a)
Belajar tidak sekedar melibatkan
stimulus dan respon tetapi juga melibatkan proses berfikir yang sangat
kompleks.
b)
Ilmu pengetahuan dibangun dalam diri
seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.
Menurut psikologi kognitivistik, belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk
mengerti sesuatu dengan jalan mengaitkan pengetahuan baru kedalam struktur
berfikir yang sudah ada. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh siswa. Keaktifan
itu dapat berupa mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah,
mencermati lingkungan, mempraktekkan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Sehingga, pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sangat menentukkan
keberhasilan mempelajari informasi pengetahuan yang baru.[23]
Teori ini juga
menganggap bahwa belajar adalah pengorganisasian aspekaspek kognitif dan
persepsi untuk memperoleh pemahaman. Dalam model ini, tingkah laku seseorang
ditentukan oleh persepsi dan pemahamannya. Sedangkan situasi yang berhubungan
dengan tujuan dan perubahan tingkah laku sangat ditentukan oleh proses berfikir
internal yang terjadi selama proses belajar. Pada prinsipnya, belajar adalah
perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat dilihat sebagai
tingkah laku (tidak selalu dapat diamati.[24] Dalam
teori ini menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian dari situasi yang terjadi
dalam proses belajar saling berhubungan secara keseluruhan. Sehingga jika
keseluruhan situasi tersebut dibagi menjadi komponen-komponen kecil dan
mempelajarinya secara terpisah, maka sama halnya dengan kehilangan sesuatu.[25]
Sehingga dalam aliran kognitivistik ini terdapat ciri-ciri pokok. Adapun ciriciri
dari aliran kognitivistik yang dapat dilihat adalah sebagai berikut: 1).
Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia; 2). Mementingkan keseluruhan dari
pada bagian-bagian; 3). Mementingkan peranan kognitif; 4). Mementingkan kondisi
waktu sekarang; 5). Mementingkan pembentukan struktur kognitif.[26]
Belajar kognitif
ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan mempergunakan bentuk-bentuk
representatif yang mewakili obyek-obyek itu di representasikan atau dihadirkan
dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya
merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya seseorang menceritakan
pengalamannya selama mengadakan perjalanan keluar negeri, setelah kembali
kenegerinya sendiri. Tempat-tempat yang dikunjuginya selama berada di lain
negara tidak dapat dibawa pulang, orangnya sendiri juga tidak hadir di
tempat-tempat itu. Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi semua
tanggapan-tanggapan, gagasan dan tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang
disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya.[27]
Tokoh dari teori
tersebut antara lain Jean Peaget, Bruner, dan Ausebel, Robert M. Gagne.
Pembahasanya sebagai berikut:
a)
Teori Perkembangan Kognitif,
dikembangkan oleh Jean Piaget
Pakar kognitivisme yang besar pengaruhnya ialah Jean
Piaget, yang pernah mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan kognitif anak
yang terdiri atas beberapa tahap. Dalam hal pemerolehan bahasa ibu (B1 ) Piaget
mengatakan bahwa (i) anak itu di samping meniru-niru juga aktif dan kreatif
dalam menguasai bahasa ibunya; (ii) kemampuan untuk menguasai bahasa itu
didasari oleh adanya kognisi; (iii) kognisi itu memiliki struktur dan fungsi.[28]
Fungsi itu bersifat genetif, dibawa sejak lahir, sedangkan struktur kognisi
bisa berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu.[29]
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan
suatu proses genetic, artinya proses yang didasarkan atas mekenisme biologis
dari perkembangan system syaraf. Semakin bertambah umur seseorang, makin
komplek susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya.[30] Sehingga
ketika dewasa seseorang akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya
yang menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif didalam struktur
kognitifnya. Piaget membagi proses belajar kedalam tiga tahapan yaitu :[31]
1.
Asimilasi. Proses pengintgrasian
informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada. Contoh: seorang siswa yang
mengetahui prinsipprinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip
perkalian, maka terjadilah proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan
(yang sudah ada dipahami oleh anak) dengan prinsip perkalian (informasi baru
yang akan dipahami anak).
2.
Akomodasi. Proses penyesuaian antara
struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Penerapan proses perkalian dalam
situasi yang lebih spesifik. Contohnya : siswa ditelah mengetahui prinsip
perkalian dan gurunya memberikan sebuah soal perkalian.
3.
Equilibrasi. Proses penyesuaian yang
berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Hal ini sebagai penyeimbang
agar siswa dapat terus berkembang dan menambah ilmunya. Tetapi sekaligus
menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan roses penyeimbang. Tanpa
proses ini perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan
tidak teratur, sedangkan dengan kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu
menata berbagai informasi yang diterima dengan urutan yang baik, jernih, dan
logis.[32]
b)
Teori Perkembangan Kognitif,
dikembangkan oleh Jarome Bruner.
Berbeda dengan Piaget, Burner melihat perkembangan
kognitif manusia berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Bruner, perkembangan
kognitif seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan, terutama
bahasa yang biasanya digunakan. Sehingga, perkembangan bahasa memberi pengaruh
besar dalam perkembangan kognitif. Menurut Bruner untuk mengajarkan sesuatu
tidak usah menunggu sampai anak mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang
penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat diberikan padanya.
Dengan kata lain, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan
jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan
tingkat perkembangannya (Pahliwandari, 2016: 160)
Implikasi Teori Bruner dalam Proses Pembelajaran
adalah menghadapkan anak pada suatu situasi yang membingungkan atau suatu
masalah; anak akan berusaha membandingkan realita di luar dirinya dengan model
mental yang telah dimilikinya; dan dengan pengalamannya anak akan mencoba
menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam
rangka untuk mencapai keseimbangan di dalam benaknya. Dari implikasi ini dapat
diketahui bahwa asumsi dasar dari teori ini adalah bahwa setiap orang telah
memiliki pengetahuan dan pengalaman didalam dirinya yang tertata dalam bentuk
struktur kognitif, yang kemudian mengalami tahap belajar sebagai perubahan
persepsi dan pemahaman dari apa yang aia temukan.[33]
c)
Teori Perkembangan Kognitif,
dikembangkan oleh Ausebel
Proses belajar terjadi jika siswa mampu
mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan baru (belajar
menjadi bermakna/ meaning full learning). Proses belajar terjadi melalui
tahap-tahap: 1). Memperhatikan stimulus yang diberikan; 2). Memahami makna
stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami; 3). Meaning
full learning adalah suatu proses dikaitkannya.
Menurut Ausebel siswa akan belajar dengan baik jika
isi pelajarannya didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik dan
tepat kepada siswa (Advanced Organizer), dengan demikian akan mempengaruhi
pengaturan kemampuan belajar siswa. Advanced organizer adalah konsep atau
informasi umum yang mewadahi seluruh isi pelajaran yang akan dipelajari oleh
siswa. Advanced organizer memberikan tiga manfaat yaitu : 1). Menyediakan suatu
kerangka konseptual untuk materi yang akan dipelajari. 2). Berfungsi sebagai
jembatan yang menghubungkan antara yang sedang dipelajari dan yang akan
dipelajari. 3). Dapat membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih
mudah. Untuk itu pengetahuan guru terhadap isi pembelajaran harus sangat baik,
dengan demikian ia akan mampu menemukan informasi yang sangat abstrak, umum dan
inklusif yang mewadahi apa yang akan diajarkan. Guru juga harus memiliki logika
berfikir yang baik, agar dapat memilah-milah materi pembelajaran, merumuskannya
dalam rumusan yang singkat, serta mengurutkan materi tersebut dalam struktur
yang logis dan mudah dipahami.[34]
d)
Teori Perkembangan Kognitif,
dikembangkan oleh Robert M. Gagne
Salah satu teori yang berasal dari psikolog kognitiv
adalah teori pemrosesan informasi yang dikemukakan oleh Robert M. Gagne.
Menurut teori ini belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam
otak manusia. Sedangkan pengolahan otak manusia sendiri dapat dijelaskan
sebagai berikut (Nurhadi, 2018: 17):
1.
Reseptor (alat indera) : menerima
rangsangan dari lingkungan dan mengubahnya menjadi rangsaangan neural,
memberikan symbol informasi yang diterimanya dan kemudian di teruskan.
2.
Sensory register (penempungan
kesan-kesan sensoris) : yang terdapat pada syaraf pusat, fungsinya menampung
kesan-kesan sensoris dan mengadakan seleksi sehingga terbentuk suatu kebulatan
perceptual. Informasi yang masuk sebagian masuk ke dalam memori jangka pendek
dan sebagian hilang dalam system.
3.
Short term memory ( memory jangka pendek
) : menampung hasil pengolahan perceptual dan menyimpannya. Informasi tertentu
disimpan untuk menentukan maknanya. Memori jangka pendek dikenal juga dengan
informasi memori kerja, kapasitasnya sangat terbatas, waktu penyimpananya juga
pendek. Informasi dalam memori ini dapat di transformasi dalam bentuk kode-kode
dan selanjutnya diteruskan ke memori jangka panjang.
4.
Long Term memory (memori jangka panjang)
:menampung hasil pengolahan yang ada di memori jangka pendek. Informasi yang
disimpan dalam jangka panjang, bertahan lama, dan siap untuk dipakai kapan
saja.
5.
Response generator (pencipta respon) :
menampung informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang dan mengubahnya
menjadi reaksi jawaban.
memori ini dapat
di transformasi dalam bentuk kode-kode dan selanjutnya diteruskan ke memori
jangka panjang. 4) Long Term memory (memori jangka panjang) :menampung hasil
pengolahan yang ada di memori jangka pendek. Informasi yang disimpan dalam
jangka panjang, bertahan lama, dan siap untuk dipakai kapan saja. 5) Response
generator (pencipta respon) : menampung informasi yang tersimpan dalam memori
jangka panjang dan mengubahnya menjadi reaksi jawaban. 7) Adanya perbedaan
individual pada diri siswa pelu diperhatikan karena faktor ini sangat
mempengaruhi keberhasilan belajar siswa[35]
4. Teori
Belajar Konstruktivisme
Teori konstruktivisme
merupakan teori yang sudah tidak asing lagi bagi dunia pendidikan, sebelum
mengetahui lebih jauh tentang teori konstruktivisme alangkah lebih baiknya di
ketahui dulu konetruktivisme itu sendiri. Konstruktivisme berarti bersifat
membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu
upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern.[36]
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bahwa konstruktivisme merupakan sebuah
teori yang sifatnya membangun, membangun dari segi kemampuan, pemahaman, dalam
proses pembelajaran. Sebab dengan memiliki sifat membangun maka dapat
diharapkan keaktifan dari pada siswa akan meningkat kecerdasannya.
Kosntruksivisme
menyoroti interaksi orang-orang dan situasi-situasi dalam penguasaan dan
penyempurnaan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan. Konstuktivisme
memiliki asumsi yang sama dengan teori kognitif sosial yang mengarahkan bahwa
orang, prilaku, dan lingkungan berinteraksi secara timbal balik. Adapun
asumsi-asumsi dari konstruktivisme adalah, pertama, manusia merupakan siswa
aktif yang mengembangkan pengetahuan bagi diri mereka sendiri.[37]
Di mana
siswa diberikan keluasan untuk mengembangkan ilmu yang sudah didapatkan
tersebut, baik dengan melakukan latihan, melakukan eksperimen maupun berdiskusi
sesama siswa. Dengan hal seperti itu maka ilmu-ilmunya tersebut akan berkembang
dan bertambah. Kedua. Guru sebaiknya tidak mengajar dalam artian menyampaikan
pelajaran dengan cara tradisional kepada sejumlah siswa. Guru seharusnya
membangun situasisituasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat terlibat secara
aktif dengan materi pelajaran melalui pengolahan materi-materi dan interaksi
sosial. Maksudnya seorang pendidik atau guru dituntut untuk lebih aktif dan
menarik dalam menjelaskan, selain itu juga guru harus bisa menggunakan media
dalam proses pembelajaran. Jangan hanya menggunakan metode-metode yang sudah
lama atau jaman dulu, seperti ceramah, mencatat sampai habis, akan tetapi guru
harus mengajar dengan cara bagaimana supaya siswa harus di buat aktif dan masuk
dalam pembelajaran tersebut.
Kedua.
Guru sebaiknya tidak mengajar dalam artian menyampaikan pelajaran dengan cara
tradisional kepada sejumlah siswa. Guru seharusnya membangun situasisituasi
sedemikian rupa sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dengan materi
pelajaran melalui pengolahan materi-materi dan interaksi sosial. Maksudnya
seorang pendidik atau guru dituntut untuk lebih aktif dan menarik dalam
menjelaskan, selain itu juga guru harus bisa menggunakan media dalam proses pembelajaran.
Jangan hanya menggunakan metode-metode yang sudah lama atau jaman dulu, seperti
ceramah, mencatat sampai habis, akan tetapi guru harus mengajar dengan cara
bagaimana supaya siswa harus di buat aktif dan masuk dalam pembelajaran
tersebut.[38]
Pertama,
konstruktivisme eksogeneus mengacu pada pemikiran bahwa penguasaan pengetahuan
merepresentasikan sebuah kosntruksi ulang dari strukturstruktur yang berbeda
dalam dunia eksternal. Pandangan ini mendasarkan pengaruh kuat dari dunia luar
pada konstruksi pengetahuan, seperti pengalaman-pengalaman, pengajaran dan
pengamatan terhadap model-model. Kedua, konstruktivisme endogenus menekankan
pada koordinasi tindakantindakan yang sebelumnya, bukan secara langsung dari
informasi lingkungan; karena itu, pengetahuan bukanlah cerminan dari dunia luar
yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman, pengajaran, atau interaksi
sosial. Pengetahuan berkembang melalui aktifitas kognitif dari abstraksi dan
mengikuti sebuah rangkaian yang dapat diprediksikan secara umum. Ketiga,
konstruktivisme dialektikal. berpendapat bahwa pengetahuan tidak hanya dapat
diperoleh melalui sekolah akan tetapi bisa juga di dapatkan melalui saling
berinteraksi sesama teman, guru, tetangga dan bahkan lingkungan sekitar kita.
Selain itu juga interpretasinya tidak terikat dengan dunia luar. Bahkan
pengetahuan atau pemahaman timbul akibat saling berlawanan mental dari
interaksi antara lingkungan sekitar dengan seseorang.[39]
Dari
ketiga pandang tersebut memiliki kelebihan masing-masing, seperti konstruktivisme
eksogeneus yaitu untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan seorang siswa
terhadap ilmu tertentu secara akurat dan terperinci. Kemudian konstruktivisme
endogenus yaitu untuk mengetahui sejauh mana penguasaan materi secara
terstruktur mulai dari yang paling bawah sampai dengan yang paling tinggi.
Sedangkan konstruktivisme dialektikal digunakan ketika guru atau pendidik ingin
merencanakan itervensi-intervensi untuk mendorong pemikiran siswa dan untuk
mengarahkan penelitian untuk menemukan efektifitas dari pengaruh-pengaruh
sosial seperti paparan terhadap model-model dan kerja sama dengan teman sebaya.[40]
Tokoh
tokoh dalam teori ini:
1)
Teori
perkembangan mental Peaget
Salah
satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga
disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas
dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap
perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu
dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan.
Selanjutnya,
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan bahwa pengetahuan
tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran.
Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena
adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Pengertian
tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan
skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah
ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
2)
Teori Belajar
Bermakna Ausubel
David
Ausubel (Dahar, 1989:112) terkenal dengan teori belajar bermakna (meaningful
learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru
dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang
sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan
fenomena baru kedalam struktur pengetahuan mereka. Ini terjadi melalui belajar
konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan mengakibatkan
pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai si pelajar.
Kedekatan
teori belajar bermakna Ausubel dengan konstruktivisme adalah keduanya
menekankan pentingnya mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta
baru kedalam sistem pengertian yang telah dimiliki, keduanya menekankan
pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah
dimiliki siswa, dan keduanya mengasumsikan adanya keaktifan siswa dalam
belajar.
3)
Teori Belajar
Bruner
Menurut
Bruner, “pembelajaran adalah proses yang aktif dimana pelajar membina ide baru
berasaskan pengetahuan yang lampau”. Selanjutnya Bruner (Nur, 2000:10)
menyatakan bahwa “mengajarkan suatu bahan kajian kepada siswa adalah untuk
membuat siswa berfikir untuk diri mereka sendiri, dan turut mengambil bagian
dalam proses mendapatkan pengetahuan. Mengetahui adalah suatu proses bukan
suatu produk”. Masih menurut Bruner (Dahar, 1997:98) bahwa dalam membangun
pengetahuan di dasarkan kepada dua asumsi yaitu :asumsi pertama adalah
perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif yaitu orang yang
belajar akan berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak
hanya terjadi dilingkungan tatapi juga dalam diri orang itu sendiri.
C. Penutup
Sebagian besar teori-teori psikologis menjadikan
masalah belajar sebagai hal yang sentral walaupun kadang-kadang tidak
dinyatakan secara eksplisit, tapi kenyataannya untuk mempelajari teori belajar
mempunyai pandangan dan karakteristik yang berbeda-beda, dan hal ini menyebabkan
pemberian tekanan kepada aspek dan karakteristik yang berbeda-beda pula,
sehingga kadang-kadang ditemui pertentangan antara teori yang satu dengan teori
yang lainnya. Pertentangan itu kalau diperhatikan hanyalah pertentangan semu
saja. Karena kenyataanya harus menempatkan konsepsi-konsepsi yang
bermacam-macam dalam keseluruhan sistem yang lebih luas.
Dalam menilai atau menyimpulkan pendapat-pendapat
dari teori-teori belajar tersebut, hendaknya jangan memandang sebagai suatu
yang saling bertentangan dan menganggap yang satu itulah yang benar dan yang
lain salah.Perbedaan-perbedaan yang terdapat antara karakter berbagai teori
belajar itu disebabkan karena perbedaan jenis-jenis belajar yang
diselidiki.Belajar ada yang bertahap dan berkarakter rendah dan ada yang
bertahap dan berkarakter tinggi; ada yang belajar dalam tingkat biologis dan
ada pula yang bertingkat rohaniah; ada belajar yang bersifat skill atau
keterampilan dan ada yang bersifat rasional.Jadi dalam hal menilai benar
tidaknya pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh berbagai teori belajar itu,
kita harus memandangnya dari segi-segi karaktersitik tertentu yang sesuai
dengan jenis-jenis belajar yang diselidikinya.
Hal yang penting bagi pendidik adalah mengambil
manfaat dari masing-masing teori itu dan menggunakannya dalam praktek sesuai
dengan situasi dan materi yang dipelajari dan yang diajarkan, sebab kita
mengetahui bahwa macam-macam cara belajar yang dikemukakan oleh berbagai teori
belajar tersebut, dalam batas tertentu berlaku pula bagi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Agus N Cahyo, Panduan Aplikasi
Teori-Teori Belajar Mengajar Teraktual Dan Terpopuler, (Jogjakarta, Divapres:
2013).
Andriyani,
Fera. 2015. Teori Belajar Behavioristik dan Pandangan Islam tentang
Behavioristik.(Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam).Edisi 10 No. 2
Aprida
Pane. 2017. BELAJAR DAN PEMBELAJARAN,
Arbayah,
Model Pembelajaran Humanistik, Vol 13. No. 2, Desember 2013,
Baharuddin. 2015. Pendidikan dan
Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Ar Ruzz Media,
Budiningsih, Asri. 2015. Belajar
dan pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta,
Dale H. Schunk, Learning Theories
An Education Perspective, Di Terjemahkan Oleh Eva Hamdiah, Rahmat Fajar, Dengan
Judul Teori-Teori Pembelajaran Perspektif Pendidikan. (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar: 2012).
Desmita.
2005. Psikologi Perkembangan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya
Fajri
Ismail, Evaluasi Pendidikan, (Palembang: Tunas Gemilang Press, 2014),
Vol.
03 No. 2 Desember 2017 e-ISSN : 2460-2345, p-ISSN: 2442-6997
George
R. Knight, Issues and Alternatives in Educational Philosophy (Michigan: Andews
University Press, 1982),.
Jauhar. Mohammad. 2011. Implemetasi
Paikem. Jakarta:Prestasi Pustaka John Dewey, Democracy and Education (New York: The Free
Press, 1966),
Mardalis, 2003. Metode Penelitian
Kualitatif (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta : Bumi Aksara.
Muhaimin, Sutia’ah, Nur Ali. 2012.
Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan PAI di Sekolah. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya.,
Muhibbin, Syah. 2005. Psikologi
Pendidikan, Suatu Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,King, Laura A. 2010. Psikologi Umum:
Sebuah Pengantar Apresiatif. Jakarta: Salemba Humanika
Mulyati. 2015. Psikologi Belajar.
Yogyakarta: Andi Ofset.
Nugroho, Puspo. 2015. Pandangan
Kognitifisme Dan Aplikasinya Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Anak
Usia Dini. ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Islam Anak Usia Dini. Vol. 3 |
No. 2 | Juli-Desember,
Nurdyansyah, dan Eni fariyatul
fahyuni. 2016. Inovasi Model Pembelajaran. Sidoarjo: Nizamia Learning Center,
Nurhadi. 2018. Teori Belajar dan
Pembelajaran Kognitivistik. Program Magister Pasca Sarjana (Pps) Prodi
Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Sutan Syarif Kasim Riau
Pekanbaru.,
Syah, M. 2013. Psikologi Pendidikan
dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
Syaiful
Bahri Djamarah & Aswan Zain,(2006) Strategi Belajar Mengajar (Jakarta:
Rineka Cipta)
Suprihatin
, Pendekatan Humanistik Dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam,
Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017,
Sugiyono Prof, Dr. 2010. Metode
Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kulaitatif dan R & D. Bandung:
Cv. Alfa Beta
Suyono, dan Hariyanto. 2012.
Belajar dan Pembelajaran; Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT Rosda Karya.,
Ukti
Lutvaidah. Pengaruh Metode dan Pendekatan Pembelajaran Terhadap Penguasaan
Konsep Matematika. Jurnal Formatif 5(3): 279-285, 2015 ISSN: 2088-351X. (2015)
Jasmani Dan Kesehatan. Jurnal
Pendidikan Olahraga, Vol. 5, No. 2, Desember,
Paul Suparno, Filsafat
Konstruktivisme Dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997,
------------. 2016. Perkembangan
Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius,
Rusli
dan Kholik. 2013. Theory of Learning According to Educational
Psychology.(Jurnal Sosial Humaniora). Vol. 4 No. 2.
Umar, Husein. 2004. Metode Riset Ilmu
Administrasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Pahliwandari, Rovi. 2016. Penerapan
Teori Pembelajaran Kognitif Dalam Pembelajaran Pendidikan
Yamin, Martinus & Jamilah Sabri
Sanan, Panduan Paud-Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: REFERENSI: Gaung
Persada Press Group.,
[1]
Aprida Pane. 2017. BELAJAR DAN PEMBELAJARAN, Vol. 03 No. 2 Desember 2017 e-ISSN
: 2460-2345, p-ISSN: 2442-6997
[2]
Ukti Lutvaidah (2015). Pengaruh Metode dan Pendekatan Pembelajaran Terhadap
Penguasaan Konsep Matematika. Jurnal Formatif 5(3): 279-285, 2015 ISSN:
2088-351X.
[3]
Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain,(2006) Strategi Belajar Mengajar
(Jakarta: Rineka Cipta)
[4]
Umar, Husein. 2004. Metode
Riset Ilmu Administrasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
[5]
Mardalis, 2003. Metode
Penelitian Kualitatif (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta : Bumi Aksara.
[6]
Sugiyono Prof, Dr. 2010. Metode
Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kulaitatif dan R & D. Bandung:
Cv. Alfa Beta.
[7]
Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya
[8]
King, Laura A. 2010. Psikologi Umum: Sebuah Pengantar Apresiatif. Jakarta:
Salemba Humanika
[9]
Rusli dan Kholik. 2013. Theory of Learning According to Educational
Psychology.(Jurnal Sosial Humaniora). Vol. 4 No. 2 Hal 62- 67.
[10]
Andriyani, Fera. 2015. Teori Belajar Behavioristik dan Pandangan Islam tentang
Behavioristik.(Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam).Edisi 10 No. 2 Hal. 165-
180.
[11]
Fajri Ismail, Evaluasi Pendidikan, (Palembang: Tunas Gemilang Press, 2014),
hlm. 25
[12]
Arbayah, Model Pembelajaran Humanistik, Vol 13. No. 2, Desember 2013, hlm. 210
[13]
Suprihatin , Pendekatan Humanistik Dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Agama Islam, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017, hlm.94
[14]
George R. Knight, Issues and Alternatives in Educational Philosophy (Michigan:
Andews University Press, 1982), hal. 82.
[15]
John Dewey, Democracy and Education (New York: The Free Press, 1966), hal. 344
[16]
Nel Noddings, Philosophy of Education (Oxford: Westview, 1998), hal. 59 dan 61;
Knight, Issues and Alternatives, hal. 73 dan 87.
[17] Muhibbin, Syah. 2005. Psikologi
Pendidikan, Suatu Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm 65
[18] Nugroho, Puspo. 2015. Pandangan
Kognitifisme Dan Aplikasinya Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Anak
Usia Dini. ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Islam Anak Usia Dini. Vol. 3 |
No. 2 | Juli-Desember, hlm 291
[19] Baharuddin. 2015. Pendidikan dan
Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Ar Ruzz Media, hlm
[20] Nurhadi. 2018. Teori Belajar dan
Pembelajaran Kognitivistik. Program Magister Pasca Sarjana (Pps) Prodi
Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Sutan Syarif Kasim Riau Pekanbaru.,
hlm 18
[21] Budiningsih, Asri. 2015. Belajar
dan pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta, hlm 34
[22] Suyono, dan Hariyanto. 2012.
Belajar dan Pembelajaran; Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT Rosda Karya., hlm
75
[23] Muhaimin, Sutia’ah, Nur Ali.
2012. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan PAI di Sekolah. Bandung:
PT Remaja Rosda Karya., hlm 158
[24] Syah, M. 2013. Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm 69
[25] Muhaimin, Sutia’ah, Nur Ali. 2012.
Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan PAI di Sekolah. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya. Hlm 199
[26] Nugroho, Puspo. 2015. Pandangan
Kognitifisme Dan Aplikasinya Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Anak
Usia Dini. ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Islam Anak Usia Dini. Vol. 3 |
No. 2 | Juli-Desember.
[27] Yamin, Martinus & Jamilah
Sabri Sanan, Panduan Paud-Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: REFERENSI: Gaung
Persada Press Group., hlm 25
[28] Suparno, Paul. 2016.
Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius, hlm 11
[29] Jauhar. Mohammad. 2011.
Implemetasi Paikem. Jakarta:Prestasi Pustaka, hlm 128
[30] Muhaimin, Sutia’ah, Nur Ali.
2012. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan PAI di Sekolah. Bandung:
PT Remaja Rosda Karya, hlm 128
[31] Nurhadi. 2018. Teori Belajar dan
Pembelajaran Kognitivistik. Program Magister Pasca Sarjana (Pps) Prodi
Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Sutan Syarif Kasim Riau
Pekanbaru, hlm 127
[32] Nurdyansyah, dan Eni fariyatul
fahyuni. 2016. Inovasi Model Pembelajaran. Sidoarjo: Nizamia Learning Center,
hlm 90
[33] Nurhadi. 2018. Teori Belajar dan
Pembelajaran Kognitivistik. Program Magister Pasca Sarjana (Pps) Prodi
Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Sutan Syarif Kasim Riau
Pekanbaru, hlm 40-41
[34] Mulyati. 2015. Psikologi
Belajar. Yogyakarta: Andi Ofset.hlm 80
[35] Pahliwandari, Rovi. 2016.
Penerapan Teori Pembelajaran Kognitif Dalam Pembelajaran Pendidikan Jasmani Dan
Kesehatan. Jurnal Pendidikan Olahraga, Vol. 5, No. 2, Desember, hlm 161
[36] Agus N Cahyo, Panduan Aplikasi
Teori-Teori Belajar Mengajar Teraktual Dan Terpopuler, (Jogjakarta, Divapres:
2013). Hal.33
[37] Dale H. Schunk, Learning
Theories An Education Perspective, Di Terjemahkan Oleh Eva Hamdiah, Rahmat
Fajar, Dengan Judul Teori-Teori Pembelajaran Perspektif Pendidikan.
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2012). Hal.323
[38] Ibid.hal..324
[39] Ibid, hlm
235-236
[40] Paul Suparno, Filsafat
Konstruktivisme Dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hlm 89
Komentar
Posting Komentar